ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Jantung merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia yang terletak dalam mediastinum di antara kedua paru-paru. Jantung memiliki fungsi utama sebagai pemompa darah. Jantung merupakan salah satu organ yang tidak  pernah beristirahat Dalam keadaan fisiologis, pembentukan rangsang irama denyut jantung berawal dari nodus sinoatrial (nodus SA) dan menyebar ke serat otot lainnya sehingga menimbulkan kontraksi jantung. Jika rangsang irama ini mengalami gangguan dalam pembentukannya dan penghantarannya, maka dapat terjadi gangguan pada kinerja jantung.
Gangguan pada sistem kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan utama yang dialami masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan, jantung mempunyai suatu sistem pembentukan rangsang tersendiri. Pada zaman modern ini. Angka kejadian penyakit jantung semakin meningkat. Baik di Negara maju maupun berkembang, penyebab yang sering ditemukan adalah gaya hidup misalnya, diet yang salah, stress, kondisi lingkungan yang buruk, kurang olahraga, kurang istirahat dan lain-lain. Diet yang salah, seperti terlalu banyak mengkonsumsi junk food yang notabene banyak mengandung kolesterol jahat, yang berujung pada kegagalan jantung. Apalagi ditambah dengan lingkungan yang memiliki tingkat stressor tinggi, kurang olahraga, dan istirahat, maka resiko untuk terkena penyakit jantung akan semakin tinggi,
Berbagai macam penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, infark miokard akut, hipertensi yang semuanya berujung pada gagal jantung. Hal ini sangat membahayakan bagi kehidupan seseorang, sehingga untuk  mencegah komplikasi lebih lanjut harus segera mendapat perawatan medis di rumah sakit.
Untuk mrmberikan perawatan medis yang tepat dan efektif, khususnya bagi tenaga keperawatan, harus memahami konsep asuhan keperawatan pada gangguan kardiovaskuler. Apalagi dalam keadaan kedaruratan yang membutuhkan keahlian dalam memberikan pertolongan pada pasien.
1.2  Rumusan Masalah
  1. Apa saja yang tercantum dalam pengkajian klien dengan gagal jantung?
  2. Apa saja macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan gagal jantung?
  3. Bagaimanakah diagnosa dan intervensi keperawatan kepada klien dengan gagal jantung?
1.3 Tujuan
  1. Mengetahui hal-hal yang terkaji dalam pengkajian klien dengan gagl jantung.
  2. Mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan gagal jantung.
  3. Mengetahui diagnosa dan intervensi keperawatan kepada klien dengan gagal jantung.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh yaitu dapat menambah pengetahuan seputar asuhan keperawatan klien dengan Gagal jantung.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 
2.1 Definisi
            Gagal Jatung adalah suatu keadaan patolofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolism jaringan dan atau kemampuannya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
2.2 Epidemiologi
            Gagal jantung merupakan akhir fungsi ventrikel yang merosot akibat berbagai penyakit jantung. Gagal jantung bukan suatu diagnosa. Untuk dapat member terapi yang tepat perlu diketahui etiologi ggal jantung. Di Eropa dan Amerika Utara penyebab utama gagal jantung adalah iskemia akibat penyakit arteria koronaria(70%). Kausa sindrom klinis gagal jantung umumnya adalah disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kanan jarang, dapat terjadi akibat hipertensi pulmonal kronis, emboli paru masif.
2.3 Etiologi
            Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel. Faktor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, IMA(mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif.
2.4 Klasifikasi
            Jantung terdiri dari empat ruangan yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang dipisahkan oleh septum intratrial, serambi kanan dan serambi kiri yang dipisahkan oleh septum intraventrikuler. Gagal jantung dapat terjadi pada salah satu bagian jantung misalnya jantung bagian kiri ataupun jantung bagian kanan, dan juga bisa terjadi pada kedua-duanya. Kondisi pada penyakit gagal jantung bukanlah berarti bahwa jantung berhenti bekerja (cardiac arrest), melainkan jantung tidak mampu lagi memompakan darah seperti biasanya yang terjadi pada orang normal tanpa kelainan gagal jantung.
 Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastolic dalam ventrikel kiri dan volum akhir diastolic dalam ventrikel kiri meningkat. Sedangkan gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh adanya gagal jantung kiri. Bila gangguan jantung kiri dan jantung kanan terjadi bersamaan. Dalam keadaan gagal jantung kongestif, curah jantung menurun sedemikian rupa sehingga terjadi bendungan sistemik bersama dengan bendungan paru.
2.5  Patofisiologi
Sindrom gagal jantung disebabkan oleh beberapa komponen:
  1. Ketidak mampuan miokard untuk berkontraksi dengan sempurna mengakibatkan stroke volum dan cardiac output menurun.
  2. Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel(systolic overload) menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga menurunkan curah ventrikel.
  3. Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel(diastolic overload) akan menyebabkan volume dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel meninggi.
  4. Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi kemampuan daya kerja jantung dimana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi tidak mamu untuk memenuhi kebuthuna sirkulasi tubuh.
  5. Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk kedalam ventrikel atau pada aliran balik venous return akan menyebabkan pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah jantung menurun.
Gagal jantung kanan maupun kiri dapat disebabkan oleh beban kerja(tekanan atau volume) yang berlebihan dan atau gangguan otot jantung itu sendiri. Beban volume atau preload disebabkan karena kelainan ventrikel memompa darah lebih banyak semenit sedangkan beban tekanan atau afterload disebabkan oleh kealinan yang meningkatkan tahanan terhadap pengaliran darah ke luar jantung. Kelainan atau gangguan fungsi miokard dapat disebabkan oleh menurunnya kontraktilitas dan oleh hilangnya jaringan kontraktil ( infark miokard ).Dalam menghadapi beban lebih, jantung menjawab ( berkompensasi ) seperti bila jantung menghadapi latihan fisik. Akan tetapi bila beban lebih yang dihadapi berkelanjutan maka mekanisme kompensasi akan melampaui batas dan ini menimbulkan keadaan yang merugikan. Manifestasi klinis gagal jantung adalah manifestasi mekanisme kompensasi.
2.6  Manifestasi Klinis
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbulpun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, Irama derap, ventricular heaving, takikardi, pulsus alternans, ronchi dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atriu kanan, murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan edema pitting. Sedng, pada gagal jantung kongestif terjadi manistasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan.
New York Association (NYHA)membuat klasifikasi fungsioanal dalam empat kelas:
-          Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tanpa keluhan.
-          Kelas 2: Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktifitas sehari-hari tanpa keluhan.
-          Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari  tanpa keluahan.
-          Kelas 4: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus tirah baring.
2.7  Pemeriksaan diagnostic
  1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
  2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
  3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
  4. Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi. Juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.
  5. Rontgen dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.


  1. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.


  1. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).


  1. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN
dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.


  1. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongesti



2.8  Penatalaksanaan 
Tujuan pengobatan adalah :
  1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
  2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat farmakologi
  3. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat.
Terapi Farmakologis :
  1. Glikosida jantung.
    Digitalis , meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresisidan mengurangi edema
  2. Terapi diuretik.
    Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air mlalui ginjal.Penggunaan harus hati – hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
  3. Terapi vasodilator.
    Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
  4. Diet
    Pembatasan Natrium untuk mencegah, mengontrol, atau menghilangkan edema.

2.9    Komplikasi
Komplikasi dapat berupa :
  1. Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
  1. Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi kerusakan pada katup jantung.
  1. Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkanhati tidak dapat berfungsi dengan baik.
  1. Serangan jantung dan stroke.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke
2.10     Prognosis
Natural history gagal jantung yang tak diterapi tidak diketahui. Natural history penderita gagal jantung yang mendapat terapi adalah sebagai berikut :
Kelas NYHA
Mortalitas 5 tahun (5%)
I
10-20
II
10-20
III
50-70
IV
70-90

Faktor-faktor penentu prognosa :
  1. NYHA kelas III-IV
  2. Kapasitas latihan yang rendah (VO2  max <10 ml/kg/menit)
  3. Irama gallop
  4. Kausa gagal jantung : penyakit jantung koroner
  5. Kardiomegali
  6. Takikardia ventrikel, denyut ektopik ventrikel polimorfik.
Dua factor teratas merupakan predicator independen dari prognosa yang buruk.


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN 



3.1       Pengkajian

  1. Anamnesa
    1. Pengumpulan data : nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat
    2. Riwayat Penyakit / keluhan utama : Lemah saat meakukan aktivitas, sesak nafas
    3. Riwayat penyakit sekarang :
-          Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan sampai berat.
-           Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak nafas.
-          Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
-          Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
-          Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan beraktifitas, apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas.
  1. Riwayat Penyakit dahulu :
-          Apakah sebelumnya pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, hiperlipidemia.
-           Obat apa saja yang pernah diminum yang berhubungan dengan obat diuretic, nitrat, penghambat beta serta antihipertensi. Apakah ada efek samping dan alergi obat.
  1. Riwayat penyakit keluarga : Penyakit apa yang pernah dialami keluarga dan adakah anggota keluarga yang meninggal, apa penyebab kematiannya.
  2. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :
-          Situasi tempat kerja dan lingkungannya
-          Kebiasaan dalam pola hidup pasien.
-          Kebiasaan merokok
  1. Pengkajian
    1. BREATHING
      • Terlihat sesak
      • Frekuensi nafas melebihi normal
    2. BLEEDING
      • Inspeksi : adanya parut, keluhan kelemahan fisik, edema ekstrimitas.
      • Palpasi : denyut nadi perifer melemah, thrill
      • Perkusi : Pergeseran batas jantung
      • Auskultasi : Tekanan darah menurun, bunyi jantung tambahan
    3. BRAIN
      • Kesadaran biasnya compos mentis
      • Sianosis perifer
      • Wajah meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat.
    4. BLADDER
      • Oliguria
      • Edema ekstrimitas
    5. BOWEL
      • Mual
      • Muntah
      • Penurunan nafsu makan
      • Penurunan berat badan
    6. BONE
      • Kelemahan
      • Kelelahan
      • Tidak dapat tidur
      • Pola hidup menetap
      • Jadwal olahraga tak teratur
    7. PSIKOSOSIAL
      • Integritas ego : menyangkal, takut mati, marah, kuatir.
      • Interaksi social : stress karena keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, kesulitan koping.
3.2 Diagnosa
  1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardial, frekuensi, irama dan konduksi listrik.
  2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan  perubahan membran kapiler-alveolus yang diakibatkan oleh tekanan kapiler paru.
  3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya curah jantung/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
  4. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai okigen, kelemahan umum, dan immobilisasi.
  5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi berhubungan dengan  kurang pemahaman tentang kondisi gagal jantung.
3.3 Intervensi 
No
Diagnosa
Tujuan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardial, frekuensi, irama dan konduksi listrik
-Curah jantung mencukupi kebutuhan individual
-komplikasi teratasi
-tingkat aktivitas optimal
-proses penyakit dimengerti
menunjukkan tanda vital dalam batas yan bisa diterima
-melaporkan penurunan dispnea
-ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung
1. Auskultasi nadi apikal dan mengkaji frekuensi, irama jantung .



2. Catat bunyi jantung










3. Mengkaji kulit terhadap adanya pucat dan sianosis









4. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat  sesuai indikasi  (kolaborasi)

  1. Mengetahui terjadinya takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
  2. Pada auskultasi, S1 dan S2 mungkin terdengar lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke serambi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.
  3. Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak adekutnya curah jantung, vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.



  1. Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti
2
Pola nafas tidak efektif
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selam di RS, RR Normal , tak ada bunyii nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan. Dan GDA Normal
  1. Pola nafas kembali teratur
  2. RR kembali normal 16-24 x/menit

  1. Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi, dan ekspansi dada.
  2. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot Bantu nafas
  3. Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada bunyi nafas tambahan

  4. Tinggikan kepala (posisikan semifowler) dan Bantu untuk mencapai posisi yang senyaman mungkin.Kolaborasi pemberian Oksigen dan px BGA










  1. Ajarkan klien nafas dalam
  2. Mengetahui tingkat kebutuhan oksigen berlebih
  3. Mengindikasikan terapi oksigen
  4. Menyatakan adanya kongesti paru atau penumpukan secret. Menunjukkan kebutuhan adanya intervensi lanjut
  5. Meningggikan kepala dan memposisikan semi fowler mengurangi beban dan meringakan upaya untuk bernapas,
Terapi oksigen membantu pasien memenuhi kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.
  1. Memudahkan aliran oksigen

3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan  perubahan membran kapiler-alveolus yang diakibatkan oleh tekanan kapiler paru.
Gangguan pertukaran gas berkurang atau hilang
Menunjukkan status pernafasan yang normal berdasarkan :
PaO2 PaCO2, pH arteri, dan saturasi o2 dalam batas normal
1.Pantau bunyi nafas dan  catat adanya crackles pada pasien.


2.Ajarkan/anjurkan pasien batuk efektif, nafas dalam.

3.Membantu pasien untuk melakukan perubahan posisi secara berkala.


4.Pantau hasil dari GDA dan  nadi oksimetri.

  1. Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan secret  menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lebih lanjut.

  1. Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
  2. Membantu mencegah terjadinya atelektasis dan pneumonia pada pasien.


  1. Hipoksemia dapat memberat selama edema paru.

4
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya curah jantung/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan
Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh tekanan darah dalam batas normal, tak ada distensi vena perifer/ vena dan edema dependen, paru bersih dan berat badan ideal ( BB ideal TB –100 ± 10 %)
1.Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.




2.Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam. dan  terapkan terapi diuretic.


3.Pertahakan pasien duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.

4.Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
5.Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet yang akan dilakukan oleh pasien.
  1. Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
  2. Terapi diuretic yang diberikan  dapat menyebabkan kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan sehingga terjadi hipovolemia.
  3. Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
  4. Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
  5. Pasien perlu diberikan diet yang tepat untuk  memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
5
Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai okigen, kelemahan umum, dan immobilisasi
Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan selama di perawatan
-berpartisipasi aktif pada aktivitas yag diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri.
-mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas

1.Periksa tanda vital sebelum dan setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator dan obat-obat diuretic.

2.Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat adanya takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat.



3.Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.

4.Implementasi program rehabilitasi jantung.

  1. Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.


  1. Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
  2. Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung  daripada kelebihan aktivitas.
  3. Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali.


BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN.
            Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai dan menjadi penyebab mortalitas utama baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Kejadian gagal jantung dalam individu yang menderita kematian jantung mendadak sekitar 64 dan 90 %
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah dikarenakan kegagalan dari ventrikel jantung untuk berkontraksi secara efektif pada saat systole. Akibat kekurangan penyediaan oksigen ke otak , menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas dengan tiba-tiba.
Terdapat tiga aspek penting dalam menanggulangi gagal jantung yaitu pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus . Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Sekaligus pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu, kelembapan, oksigen, pemberian cairan dan diet.

4.2 SARAN.
Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal jantung diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan gagal jantung selain itu pengobatan terbaik untuk gagal jantung adalah pencegahan atau pengobatan dini terhadap penyebabnya.

Daftar Pustaka
Latief, abdul dkk.1985.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta: Fakultas Kedokteran UI

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit:Buku Kedokteran ECG

Weiner,howard l.dkk.2001.Buku Saku Neurologi.Jakarta:Buku Kedokteran ecg
http://www.scribd.com/doc/6506569/kejang demam. diakses pada tanggal 06 desember 2010

http://teguhsubianto.blogspot.com/2009/07/asuhan-keperawatan-anak-kejang-demam.html diakses pada tanggal 03 desember 2010

akses-mahdi.blogspot.com/2010/…/askep-kejang-demam_9578.html. diakses pada tanggal 30 november 2010

  1. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis
Reaksi :  Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
  1. Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
  1. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
  1. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
  1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( – ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
  2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
  3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( – ).
  1. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( – ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( – ).
  2. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( – ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
  1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
  2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
  1. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
  1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
  • Mengenai kulit dan saraf.
  • Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
  • Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
  • Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
  1. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
  • Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
  • Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
  • Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
  • Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
  1. Tipe Mid Borderline ( BB )
  • Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
  • Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
  • Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
  • Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
  • Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
  1. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
  1. Tipe Lepromatosa ( LL )
  • Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
  • Distribusi lesi khas :
    • Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
    • Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
  • Stadium lanjutan :
    • Penebalan kulit progresif
    • Cuping telinga menebal
    • Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
  • Lebih lanjut
    • Deformitas hidung
    • Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
    • Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
    • Penyakit progresif, makula dan popul baru.
    • Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
  • Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
  1. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
  • Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
  • Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
  • Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
  • Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
  • Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
  • Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
  • Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
  • Lidah : ulkus, nodus
  • Larings : suara parau
  • Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
  • Kelenjar limfe : limfadenitis
  • Rambut : alopesia, madarosis
  • Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
  1. Diagnosa Keperawatan
    1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
    2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
    3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
    4. Resti injuri b/d invasif bakteri
  2. Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
  • Klien dapat menerima perubahan dirinya
  • Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
  • Klien tidak merasa malu
Intervensi :
  • Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
  • Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
  • Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil :
  • Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
  • Klien tenang
  • Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
  1. Kaji skala nyeri klien
  2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
  3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
  4. Awasi keadaan luka operasi
  5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
  6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
  • Klien dapat beraktivitas mandiri
  • Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
  1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
  2. mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
  3. Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi Jawa Tangah
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Lepra adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman tahan asam “Mycobacterium Leprae”.
B. Etiologi
Mycobacterium Leprae yang berbentuk batang, berukuran 2-8 um dan diameter 0,3 um, bersifat tahan asam dan merupakan parasit obligat intraseluler.
C. Patofisiologi
Mycobacterium Leprae berprediksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Sebenarnya M.Leprae mempunyai pathogenesis dan daya inuasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang mengugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat kambuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya.

D. Tanda dan Gejala

  • Timbul bercak atau benjolan dengan rasa tebal/matirasa, kadang ada keluhan nyeri pada lengan dan tungkai, sendi-sendi, demam, pilek dan mata procos
  • Lesi kulit yang khas (bercak/plak hipopigmentasi/eritematosa, papul atau nodul)
  • Annesthesia pada kesi
  • Pembesaran saraf tepi
E. Klasifikasi
Klasifikasi Lepra berdasarkan “Respon Imunologis pnderita” di bagi menjadi :
1. Tipe Indeterminate (1)
Kelainan kulitnya berupa makula hipopigmentasi 1-2 buah, batas kurang tegas kadang dijumpai hipoestesi
2. Tipe Tuberculoid (TT)
Lesi kulit berupa macula/plak eritematosa atau hipopigmentasi dengan batas tegas, jumlah 1-4 buah, permukaan lesi kering, bersisik dan rambut pada lesi berkurang atau tidak ada sama sekali. Nyeri , hipoestesi atau anaestnesi dan penebalan syaraf. BTA negative, tes lepromin positif sangat kuat.
3. Tipe Bordeline Tuberculoid (BT)
Lesi kulit menyerupai tipe TT. Jumlah lesi lebih banyak (2-8 buah) berupa macula/plak hipopigmentasi. Beberapa syaraf mungkin menebal dan menimbulkan gangguan sensoris dan motoris, anestesi tampak nyata. BTA negatif atau positif satu (+1), test lepromin positif lemah.
4. Tipe Mid Borderline (BB)
Lesi kulit condong simestris, berupa macula, plak atau papul dan dapat kombinasi ketiganya, warna lesi eritematosa atau kecoklatan. Lesi punched merupakan tanda karakteristik berupa infiltrat dengan central clear area. BTA positif satu atau dua (+2/+3). Test lepromin negative atau positif lemah.
5. Tipe Borderline (BL)
Lesi dimulai dengan macula kemudian menyebar secara simetris. Lesi punched-out lebih multiformis, banyak dan tersebar. Permukaan lesi halus, mengkilat dengan batas tegas. Anestesi pada tangan dan kaki simetris. BTA positif empat atau lima (+4/+5). Test lapromin negatif.
6. Tipe Lapromatous (LL)
Lesi dimulai dengan makula yang menyebar dan terdistribusi secara bilateral sinutris. Lesi terbatas tidak tegas, hipopigmentasi, atau sedikit eritematosa. Pada fase lanjut terdapat pembesaran saraf dengan glove anda stocking anaesthesia. Gejala yang lain adalah pelebaran hidung, penebalan, lobules telinga dan edema kaki. BTA positif lima atau enam (+5/+6). Test lepromin negative.
F. Pemeriksaan Penunjang
  • Test lepromin
  • Bakteriologis : sediaan apas dari irisan kulit dan usapan mukosa hidung dengan pewarnaan Zeihl-Nielsen.
  • Scrologis pengukuran antibody anti M.Leprae
  • PA : Biopsi lesi kulit dan atau saraf
  • ENMG
G. Komplikasi
  • Imunologi : reaksi lepra tipe I (reversal) dari reaksi lepra tipe II (eritema nodosum leprosum/ENL)
  • Neurologis : ulkus, law hand, drop hand, drop foot, kontraktur, multilasi dan resorbsi.
H. Penatalaksanaan
  • Semua penderita lepra diobati dengan MDT yang terdiri dari Dapson, Lampren, dan Rifampisin
  • Reaksi tipe I dan tipe II ringan diberikan aspirin atu kloroquin
  • Reaksi tipe II berat dapat diberikan kortikosteroid dengan penurunan dosis secara bertahap
  • Bila ada neuritis perlu dilakukan imobilisasi
  • Perawatan ulkus

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
  1. Data Subyetif
  • Timbul bercak atau benjolan dengan rasa tebal/mati rasa, kadang mengeluh nyeri pada lengan / tungkai, sendi-sendi, demam, pilek, dan mata procos.
  1. Data Obyektif
  • Bercak/plak hipopigmentasi/ eritematosa, papul atau nodul
  • Anestesi pada lesi
  • Pembesaran saraf tepi
  1. Data Penunjang
  • BTA pada sediaan apus irisan kulit positif
  • Test lepronim positif atau negatif
B. Diagnosa Keperawatan
  1. Gangguan rasa nyaman nyeri s.d pembesaran saraf tepi.
  2. Potensial cedera s.d hipo/anaestesia
  3. Kurang pengetahuan s.d kurang informasi
  4. Gangguan Integritas kulit s.d adanya ulkus

C. Rencana Keperawatan
NoDiagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria HasilRencana Tindakan
1.Gangguan rasa nyaman nyeri s.d pembesaran saraf tepi.Ditandai dengan :
DS : nyeri pada lengan / tungkai
DO : klien tampak kesakitan, pembesaran saraf tepi
Tujuan : Klien merasa nyaman
Kriteria hasil :
Klien tampak tenang
Nyeri berkurang atau hilang
  • Kaji karakteristik nyeri
  • Kaji repon klien terhadap nyeri
  • Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
  • Ciptakan lingkungan yang teraupeutik
  • Kelola pemberian analgetik sesuai program
2.Potensial cedera s.d hipo/anaestesiaDitandai dengan :
DS : mati rasa
DO : pembesaran saraf tepi
Tujuan :Tidak terdapat cedera selama perawatan
Kriteria hasil :
DS mengetahui hal-hal yang harus dihindari untuk mencegah cedera
  • Kaji tingkat kemampuan aktivitas klien
  • K/P Bedrest
  • Mobilisasi bertahap
  • Hindari hal-hal yang memungkinkan terjadinya cedera
  • Jelaskan proses terjadinya hilang rasa dan cara mengatasinya
3.Kurang pengetahuan s.d kurang informasiDitandai dengan :
DS : klien belum tahu tentang penyakitnya.
Tujuan :Pengetahuan kilen/keluarga tentang penyakit lepra dan perawatannya menigkat
Kriteria hasil :
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan kpd klien/ keluarganya maka mengetahui tentang :
- Penyakit lepra
- Perawatan & pengobatan
- Efek samping pengobatan
  • Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga
  • Jelaskan dengan bahasa yang sederhana tentang :
-          Penyakit lepra dan kemungkinan komplikasi
-          Pengobatan dan efek sampingnya
-          Hal-hal yang harus dihindari untuk mencegah cedera
  • Berikan brosur tentang penyakit lepra
  • Berikan kesempatan kepada klien/keluarga untuk bertanya lebih lanjut.
4.Gangguan Integritas kulit s.d adanya ulkus Ditandai dengan :DS : -
DO : ulkus
Tujuan :Integritas kulit kembali utuh
Kriteria hasil :
Setelah 7 hari perawatan ulkus membaik, bersih, tidak berbau, granulasi (+)
  • Kaji karakteristik ulkus
  • Perawatan ulkus 2×1 hari
  • Berikan diet tinggi protein
  • Kelola pemberian antibiotic sesuai dengan program


Pondok pesantren, selain dikenal sebagai wahana tempat belajar santri dan santriwati dalam mendalami ilmu agama Islam, namun ponpes selama ini juga dikenal bermasalah dari aspek sanitasi. Berbagai penyakit berbasis lingkungan yang umum sering menjadi masalah di Ponpes seperti kudis, diare, ISPA, disebabkan oleh lingkungan yang kurang sehat di Pondok Pesantren (Ponpes). Bahkan ada gurauan dikalangan santri dan kyai bahwa belum belum sah jika seorang santri yang mondok disebuah ponpes jika belum terserang penyakit kudis (scabies).
Sebagamana sanitasi rumah, sanitasi Ponpes pada dasarnya adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran man usia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990). Kondisi sanitasi pada Ponpes akan sangat berkaitan dengan angka kesakitan berbasis lingkungan yang menular.
Beberapa masalah sanitasi sangat umum di ponpes dapat kita sebut antara lain keterbatasan sarana sanitasi dan perilaku santri yang belum ber PHBS. Berikut observasi umum yang (saya kira, dan saya percaya), dapat dipercaya berlaku umum di Ponpes kita (lokasi observasi untuk sementara tidak disebutkan). Observasi ini menggunakan alat ukur checklist inspeksi sanitasi Ponpes, pengamatan secara visual serta melakukan wawancara terhadap santri.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan didapatkan gambaran antara lain banyak ditemukan Sanitasi Ponpes yang kurang memadai, higiene perorangan pada santri yang buruk, pengetahuan, sikap, dan perilaku para santri yang kurang mendukung pola hidup sehat, serta pihak penghelola ponpes yang kurang tertarik (?) dengan masalah sanitasi lingkungan Ponpes.
Beberapa komponen yang diamati adalah sanitasi lingkungan Ponpes yang terdiri dari lokasi dan konstruksi Ponpes, penyediaan air bersih, ketersediaan jamban, pengelolaan sampah, sistem pembuangan air limbah, sanitasi dan kepadatan pemondokan, sanitasi ruang belajar santri, dan sanitasi masjid Ponpes.
Lingkungan Ponpes
Berdasarkan alat ukur checklist inspeksi sanitasi pada Ponpes, dapat dilihat bahwa secara umum lingkungan dan bangunan pondok pesantren harus selalu dalam keadaan bersih dan tersedia sarana sanitasi yang memadai. Selain itu Lingkungan dan bangunan ponpes tidak memungkinkan sebagai tempat bersarang dan berkembang biaknya serangga, binatang mengerat, dan binatang mengganggu lainnya. Bangunan Ponpes juga harus kuat, utuh, terpelihara, mudah dibersihkan dan dapat mencegah penularan penyakit dan kecelakaan.
Secara umum lingkungan Ponpes pada lokasi observasi telah memenuhi syarat, dengan berbagai komponen persyaratan tersebut telah terpenuhi, baik dari aspek sarana, kebersihan, maupun konstruksi bangunan.
Konstruksi Bangunan
Syarat sebuah pondok pesantren berdasarkan aspek konstruksi mempersyaratkan adanya kondisi pada lantai, dinding, lubang penghawaan, kelembaban, ventilasi, atap, langit-langit, serta jaringan instalasi. Pada lantai bangunan Ponpes harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak licin dan mudah dibersihkan. Juga Lantai yang selalu kontak dengan air mempunyai kemiringan yang cukup (2%-3%) kearah saluran pembuangan air limbah. Pada Dinding Ponpes, dipersyaratkan adanya permukaan dinding yang harus rata, berwarna terang, dan mudah dibersihkan. Permukaan dinding yang selalu terkena percikan air terbuat dari bahan yang kuat dan kedap air. Persyaratan konstruksi a t a p, selain kuat juga tidak bocor dan tidak menjadi tempat perindukan serangga dan tikus. Sedangkan Persyaratan langit-langit, selain kuat, berwarna terang serta mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 2.50 meter dari lantai. Sementara konstruksi pintu harus kuat, serta dapat mencegah masuknya serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya.
Ventilasi dan Kelembaban Udara
Lubang Penghawaan pada bangunan ponpes harus dapat menjamin pergantian udara didalam kamar/ruang dengan baik. Luas lubang penghawaan yang dipersyaratkan antara 5% - 15% dari luas lantai dan berada pada ketringgian minimal 2.10 meter dari lantai. Bila lubang penghawaan tidak menjamin adanya pergantian udara dengan baik harus dilengkapi dengan penghawaan mekanis. Dari aspek kelembaban udara ruang, dipersyaratkan ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara dengan kriteria buruk jika tingkat kelembaban > 90%, kelembaban Baik (65-90%). Kelembaban sangat berkaitan dengan ventilasi. Tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat ditambah dengan perilaku tidak sehat, misalnya dengan penempatan yang tidak tepat pada berbagai barang dan baju, handuk, sarung yang tidak tertata rapi, serta kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam penularan penyakit berbasis lingkungan seperti Scabies (memudahkan tungau penyebab/Sarcoptes scabiei, berpindah dari reservoir ke barang sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam ruangan. Ventilasi yang memungkinkan sinar matahari pagi dapat masuk dan proses pertukaran udara juga tidak lancar.
Persyaratan sanitasi dari aspek pencahayaan, bahwa lingkunga Ponpes baik di dalam maupun diluar ruangan harus mendapat pencahayaan yang memadai. Mutu udara harus memenuhi persyaratan, seperti tidak berbau (terutama H2S dan Amoniak), serta kadar debu tidak melampaui konsentrasi maksimum.
Jaringan instalasi, pemasangan jaringan instalasi air minum, air limbah, gas, listrik, sistem sarana komunikasi dan lain-lain harus rapi, aman, dan terlindung
Dapur dan Fasilitas Pengelolaan makanan.
Persyaratan sanitasi ruang tidur pada pondok pesantren meliputi antara lain, ruangan selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai kebutuhan. Syarat bangunan dapur berdasarkan aspek sanitasi, ruang dapur harus menggunakan pintu yang dapat membuka dan menutup sendiri atau harus dilengkapi dengan pegangan yang mudah dibersihkan.
Dapaur pada ponpes mempergunakan minyak tanah sebabagai bahan bakar, dengan kondisi dapur kotor dan didominasi warna hitam oleh karena asap. Namun dari aspek pencahayaan dan ventilasi telah memenuhi syarat, dengan sebagian sisi dapur merupakan ruang terbuka.
Kepadatan Penghuni.
Variabel kepadatan penghuni memberikan hasil yang signifikan untuk kejadian ISPA. Kepadatan penghuni rumah dihubungkan dengan transmisi penyakit tuberculosis dan infeksi saluran pernafasan. Hal ini karena kepadatan penghuni kamar tidur yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya menjadi penyebab terjadinya ISPA.
Kepadatan penghuni rumah yang terlalu tinggi dan tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban dalam rumah juga meningkat (Krieger dan Higgins, 2002). Syarat kepadatan hunian pada Ponpes dipersyaratkan kepadatan yang termasuk dalam kriteria hunian tinggi jika ruangan <8 m2/ dihuni untuk 2 orang, sedangkan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang).
Tingkat kepadatan penghuni di Ponpes lokasi observasi cenderung padat namun masih dalam batas toleransi persyaratan. Perbandingan jumlah tempat tidur dengan luas lantai minimal 3 m2/tempat tidur (1.5 m x 2 m). Namun struktur tempat tidur santri tidak berada dalam bed tersendiri, namun berada di lantai dengan menggunakan alas berbentuk tikar. Kepadatan hunian merupakan syarat mutlak untuk kesehatan rumah pemondokan termasuk ponpes, karena dengan kepadatan hunian yang tinggi terutama pada kamar tidur memudahkan penularan berbagai penyakit secara kontak dari satu santri kepada santri lainnya.
Fasilitas Sanitasi
Termasuk dalam aspek kesehatan fasilitas sanitasi, sebauah pondok pesantren harus memenuhi persyaratan antara lain meliputi Penyediaan air minum serta toilet dan kamar mandi.
Fasilitas sanitasi mempunyai kriteria persyaratan sebagai berikut :
- Kualitas
- Kuantitas
- Kontinuitas
:
:
:
Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan (fisik, kimia, dan bakteriologis)
Tersedia air bersih minimal 60 lt/tt/hr
Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan yang membutuhkan secara berkesinambungan
Sedangkan aspek kesehatan sanitasi Toilet dan kamar mandi, selain harus selalu dalam keadaan bersih, juga lantai kamar mandi terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang, dan mudah dibersihkan. Toilet dan kamar mandi harus juga dilengkapi dengan pembuangan air limbah yang dilengkapi dengan penahan bau (water seal). Sedangkan letak toilet dan kamar mandi tidak boleh berhubungan langsung dengan tempat pengelolaan makanan (dapur, ruang makan). Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar.
Toilet dan kamar mandi karyawan/pengurus harus terpisah dengan toilet santri, serta tidak terdapat tempat penampungan atau genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan serangga dan binatang pengerat. Sedangkan perbandingan jumlah santri dengan jumlah jamban dan kamar mandi adalah untuk jumlah santri 15 harus tersedia satu jamban dan kamar mandi, selanjutnya setiap penambahan 25 tempat tidur harus ditambah 1 jamban dan 1 kamar mandi.
Kondisi di Ponpes lokasi observasi, jumlah jamban yang tersedia sebanyak 4 unit dengan kamar mandi 10 unit, dengan sebagaian besar santri masih mempergunakan sungai sebagai tempat buang air besar dan mandi. Alur sungai yang kebetulan melalui area ponpes diberi sekat dan dimanfaatkan untuk sarana MCK. Ketika ditanyakan pada santri, penggunaan sungai ini dikarenakan jumlah sarana jamban dan kamar mandi ponpes masih jauh dari cukup, sehingga untuk menggunakannya harus antri.. Jika melihat tandard proporsi jamban maka masih diperlukan penambahan kamar mandi dan jamban. Teknis penambahan dapat dilakukan dengan membangun jamban dan kamar mandi baru sejumlah 12 unit . Selain penambahan baru juga penambahan jamban pada kamar mandi yang sudah ada (kamar mandi ini belum dilengkapi sarana jamban), yaitu sejumlah 8 unit.
Pengelolaan sampah.
Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian dalam rta/licin. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau apabila 2/3 bagian telah terisi penuh. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan perkiraan volume sampah yang dihasilkan oleh setiap kegiatan. Tempat sampah harus disediakan minimal 1 buah untuk setiap radius 10 meter dan setiap jarak 20 meter pada ruang tunggu dan ruang terbuka. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah dikosongkan, tidak terbuat dari beton permanen, terletak di lokasi yang mudah dijangkau kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya 3 x 24 jam.
Pengelolaan sampah di ponpes ini cukup baik dengan memanfaatkan ruang terbuka pondok untuk menimbun sampah, sementra tempat sampah/container tersedia berbagai sudut Pondok.
Pengelolaan Air Limbah.
Ponpes harus memiliki sistem pengelolaan air limbah sendiri yang memenuhi persyaratan teknis apabila belum ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengolahan air limbah perkotaan.
Saluran pembuangan air limbah (SPAL) di Ponpes tidak mengalir lancar, dengan bentuk SPAL tidak tertutup di banyak tempat, sehingga air limbah menggenang di tempat terbuka. Keadaan ini berpotensi sebagai tempat berkembang biak vektor dan bernilai negatif dari aspek estetika.
Pengelolaan makanan/minuman
Persyaratan pengelolaan makanan/minuman antara lain menyangkut komponen dapur, ruang makan dan gudang. Luas dapur minimal 40% dari ruang makan. Sedangkan untuk syarat penghawaan harus dilengkapi dengan pengeluaran udara panas maupun bau-bauan (exhauser) yang dipasang setinggi 2 meter dari lantai. Pada tungku dapur dilengkapi dengan sungkup atap (hood). Sementara pertukaran udara diusahakan dengan ventilasi yang dapat menjamin kenyamanan, menghilangkan debu dan asap.
Untuk bahan dan peralatan dipersyaratkan antara lain, pada bahan makanan/minuman yang diolah harus dalam keadaan baik, tidak rusak, atau berubah bentuk warna dan rasa. Bahan terolah harus dikemas dan bahan tambahan harus memenuhi persyaratan kesehatan. Sedangkan peralatan memasak dan peralatan makan/minum, dipersyaratkan permukaan harus mudah dibersihkan, tidak terbuat dari bahan yang mengandung timah hitam, tembaga, seng, kadmium, arsenikum, dan antimon. Sementara ruang tempat penyimpanan alat-alat terlindung dan tidak lembab.
Di Ponpes lokasi observasi, terutama pada ruang penyimpanan bahan baku makanan / ruang pengelolaan, kondisi ruangan sudah memenuhi syarat baik pada aspek kebersihan, pencahayaan, serta ventilasi.
Kesimpulan dan Saran.
Berdasarkan observasi terhadap Ponpes disimpulkan bahwa dari aspek sanitasi lingkungan, masih banyak ditemukan komponen sanitasi yang tidak memenuhi syarat, terutama pada komponen sarana air bersih, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, kepadatan penghuni, serta aspek kontruksi ruang. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit berbasis lingkungan seperti kudis, ISPA, dan diare.
Berdasarkan observasi tersebut dapat disarankan kepada fihak manajemen Ponpes untuk memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan Ponpes dengan menambah jumlah kamar mandi dan jamban. Juga perlu perbaikan dalam penyediaan sumber air bersih dengan mempergunakan sumber air bersih yang memenuhi syarat serta mengolah secara sederhana yaitu penambahan tawas untuk menjernihkan air dan penambahan kaporit sebagai disinfektan. Untuk mendukung lingkungan yang sehat, harus didukung dengan perilaku sehat santri. Untuk tujuan tersebut penting dibuat peraturan dan komitmen bersama untuk mengelolanya.
Ponpes sebagai lokasi observasi diatas sebetulnya sudah cukup baik dari aspek sanitasi, karena saya percaya masih banyak Ponpes yang jauh lebih buruk kondisi sanitasinya. Sebagaimana disebutkan pada hasil penelitian Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri Di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan (Isa M.,Soedjajadi K., Hari B.N).
Dengan mempergunakan besar sampel sebanyak 12 Ponpes dengan 338 orang santri yang dihitung berdasarkan formula Lemeshow (1997), penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang menarik sebagai bahan referensi rekan-rekan Sanitarian petugas Promkes kita.
  1. Pemeriksaan fisik kulit terhadap 338 orang santri Ponpes di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit Scabies adalah 64,20%. Prevalensi Scabies ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies di neg ara sedang berkembang yang hanya 6-27% saja (Sungkar, 1997) ataupun prevalensi penyakit Scabies di Indonesia sebesar 4,60 -12,95% saja (Dinkes Prop Jatim, 1997). Sedangkan prevalensi penyakit Scabies diantara para santri di Kabupaten Lamongan lebih sedikit rendah kalau dibandingkan dengan prevalensi penyakit Scabies di sebuah Ponpes di Jakarta yang mencapai 78,70% atau di Ponpes Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebesar 66,70% (Kuspriyanto, 2002).
  2. Santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian tinggi (<8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 245 orang mempunyai prevalensi penyakit Scabies 71,40%, sedangkan santri yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian rendah (> 8 m2 untuk 2 orang) sebanyak 93 orang mempunyai prevalensi penyakit Scabies 45,20%. Dengan demikian tampak peran kepadatan hunian terhadap penularan penyakit Scabies pada santri di Ponpes Lamongan (Chi kuadrat, p <0,01).
  3. Sebanyak 232 orang santri tinggal di ruangan dengan kelembaban udara yang buruk (> 90%) dengan prevalensi penyakit Scabies 67,70%, sedangkan 106 santri tinggal di ruangan dengan kelembaban Baik (65-90%) memiliki prevalensi penyakit Scabies 56,60%. Kelembaban ruangan pemondokan kebanyakan para santri nampak kurang memadai, sebagai akibat buruknya ventilasi, sanitasi karena berbagai barang dan baju, handuk, sarung tidak tertata rapi, dan kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam penularan penyakit Scabies (Chi kuadrat, p <0,05). Hal ini memudahkan tungau penyebab (Sarcoptes scabiei) berpindah dari reservoir ke barang sekitarnya hingga mencapai pejamu baru.
  4. Sebagian besar santri (213 orang) mempunyai higiene perorangan yang jelek dengan prevalensi penyakit Scabies 73,70%. Sedangkan santri dengan higiene perorangan baik (121 orang) mempunyai prevalensi penyakit Scabies 48,00%. Tampak sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit Scabies (Chi kuadrat, p <0,01).